Pasar Dan Sultan Memerlukan Muhtasib Dan Ketentuan Seputar Hisbah

Rabu, 08 Mei 2013


Setelah kita memahami fungsi dari dinar dan dirham sebagai alat tukar dan yang harus ditata kembali adalah pasar (lihat Melihat Kembali Pengertian Dan Fungsi Pasar Dalam Islam) maka bagi muslim atau pun komunitas yang ingin menyelenggarakan pasar tersebut perlu menghadirkan juga fungsi muhtasib (petugas hisbah). Tentu ini adalah fungsi yang seharusnya di jalankan oleh seorang Sultan dalam wilayahnya. Kesultanan Yogyakarta sebagai wilayah yang berdaulat memilik pasar-pasar  yang semua  dapat dijalankan dan di tata kembali sebagaimana mestinya, pasar terbuka yang dilarangnya transaksi riba menjadi tulang punggung perniagaan dan perdagangan yang mandiri dan berkelanjutan bagi umat. Sultan perlu melindungi semua sentra produksi pertanian, perkebunan, peternakan dan sumber daya alam agar  dapat menjamin kesejahteraan masyarakat Yogyakarta.
Dan salah satu fungsi yang hilang dari pasar adalah Hisbah, yang merupakan salah satu pilar agama, dulu para Imam generasi pertama terjun langsung menjalankannya, karena manfaatnya amat banyak dan pahalanya amat menggiurkan. Namun hari ini, karena pasar  yang sebagaimana mestinya telah hilang, maka akhirnya hisbah kehilangan makna, dan kepentingannya dipandang sebelah mata oleh manusia. Maka fungsi hisbah perlu digali dan didudukan kembali dalam pasar pasar kita.
Hisbah ialah menyuruh kepada kebaikan jika terbukti kebaikan ditinggalkan (tidak diamalkan), dan melarang dari kemungkaran jika terbukti kemungkaran dikerjakan. Allah Ta’ala befirman,
“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang ber¬untung. “ (Ali Imran: 104).
Inilah, kendati hisbah berhak dilakukan setiap orang Muslim, namun ada sembilan perbedaan antara pelaku hisbah secara sukarela dengan muhtasib (petugas hisbah). Kesembilan perbedaan tersebut adalah sebagaimana berikut:
  1. Kewajiban hisbah bagi muhtasib (petugas hisbah) adalah fardhu ain, sedang kewajiban hisbah bagi orang selain muhtasib ialah fardhu kifayah.
  2. Hisbah adalah tugas muhtasib (petugas hisbah). Oleh karena itu, ia tidak boleh sibuk dengan urusan lain selain hisbah. Sedang pelaksanaan hisbah oleh pelaku hisbah secara sukarela adalah bukan bagian dari tugasnya. Oleh karena itu, ia diperbolehkan sibuk dengan urusan lain selain hisbah.
  3. Sesungguhnya muhtasib (petugas hisbah) diangkat untuk dimintai pertolongan terhadap hal-hal yang wajib dilarang. Sedang pelaku hisbah secara sukarela tidak diangkat untuk dimintai pertolongan terhadap hal-hal yang wajib dilarang.
  4. Muhtasib (petugas hisbah) wajib membantu orang yang meminta pertolongan kepadanya dalam menghadapi orang lain. Sedang pelaku hisbah secara sukarela tidak wajib membantu orang yang meminta pertolongan kepadanya untuk menghadapi orang lain.
  5. Sesungguhnya muhtasib (petugas hisbah) harus mencari kemungkaran-kemungkaran yang terlihat untuk ia larang, dan memeriksa kebaikan yang ditinggalkan (tidak diamalkan) untuk ia perintahkan. Sedang pelaku hisbah secara sukarela, ia tidak diharuskan mencari kemungkaran atau memeriksa kebaikan yang ditinggalkan (tidak diamalkan).
  6. Sesungguhnya muhtasib (petugas hisbah) berhak mengangkat staff untuk melarang kemungkaran, karena ia ditugaskan untuk melarang kemungkaran, agar dengan pengangkatan staff, ia semakin lebih perkasa dan lebih kuat. Sedang pelaku hisbah secara sukarela tidak berhak mengangkat staff.
  7. Sesungguhnya muhtasib (petugas hisbah) berhak menjatuhkan ta’zir (sanksi disiplin) terhadap kemungkaran-kemungkaran yang terlihat dan tidak boleh melebihi hudud (hukuman syar’i). Sedang pelaku hisbah secara sukarela tidak diperbolehkan menjatuhkan ta’zir (sanksi disiplin) kepada pelaku kemungkaran.
  8. Muhtasib (petugas hisbah) berhak mendapat gaji dari Baitul Mal (kas Sultan/ Khalifah) karena tugas hisbah yang dijalankannya. Sedang pelaku hisbah secara sukarela tidak boleh meminta gaji atas pelarangan kemungkaran yang ia lakukan.
  9. Muhtasib (petugas hisbah) berhak berijtihad dengan pendapatnya dalam masalah-masalah yang terkait dengan tradisi dan bukan hal-hal yang terkait dengan syar’i seperti tentang penempatan kursi di pasar-pasar, dan lain sebagainya. Ia berhak mengesahkan dan menolak itu semua berdasarkan ijtihadnya. Hal tersebut tidak berhak dilakukan pelaku hisbah dengan sukarela.
  10. Jika permasalahannya demikian, maka di antara syarat-syarat yang harus dimiliki muhtasib (petugas hisbah) ialah ia harus orang merdeka, adil, mampu berpendapat, tajam dalam berpikir, kuat agamanya, dan mempunyai pengetahuan tentang kemungkaran-kemungka¬an yang terlihat.
Para fuqaha’ di antara sahabat-sahabat Imam Syafi’i berbeda pendapat tentang boleh tidaknya muhtasib (petugas hisbah) membawa manusia dalam hal-hal yang masih diperdebatkan para fuqaha kepada pendapatnya dan ijtihadnya pribadi. Ada dua pendapat dalam permasalahan ini;
  1. Yaitu pendapat Abu Sa’id Al-Ishthakhari, “Muhtasib (petugas hisbah) berhak membawa manusia kepada pendapat pribadinya dan ijtihadnya.” Menurut pendapat ini, muhtasib (petugas hisbah) wajib berasal dari orang yang berilmu yang mampu berijtihad dalam masalah-masalah agama, agar ia bisa berijtihad dengan pendapatnya dalam masalah-masalah yang masih diperdebatkan.
  2. Muhtasib (petugas hisbah) tidak boleh membawa manusia kepada pendapat pribadinya dan ijtihadnya, serta tidak boleh mengajak mereka kepada madzhabnya, agar ijtihad itu merata dimiliki semua orang dalam hal-hal yang masih diperdebatkan para fuqaha’. Jika demikian, maka menurut pendapat ini, muhtasib (petugas hisbah) boleh berasal dari orang yang tidak mempunyai kemampuan berijtihad. Ia cukup mengetahui kemungkaran-kemungkaran yang telah disepakati para fuqaha’. Muhtasib (Petugas Hisbah) Adalah Pihak Pertengahan Antara Hakim dengan Wali Pidana.
Ketahuilah, bahwa muhtasib (petugas hisbah) adalah pihak pertengahan antara hakim dengan wali pidana. Hubungan antara muhtasib (petugas hisbah) dengan hakim ialah adanya kesamaan di antara keduanya dalam dua hal, keterbatasan dirinya dari hakim dalam dua hal, dan kelebihannya dari hakim dalam dua hal.
Adapun dua kesamaan antara muhtasib (petugas hisbah) dengan hakim adalah sebagai berikut, kedua-duanya diperbolehkan dimintai pertolongan, mendengar dakwaan orang yang minta tolong kepada keduanya atas orang lain dalam hak-hak yang terkait dengan manusia.
Ini tidak berlaku umum pada semua dakwaan, namun hanya berlaku pada tiga dakwaan
  1. Dakwaan yang terkait dengan kecurangan dan pengurangan dalam takaran atau timbangan.
  2. Dakwaan yang terkait dengan penipuan dalam komoditi dan harga.
  3. Dakwaan yang terkait dengan penundaan pembayaran hutang padahal pihak yang berhutang mampu membayarnya.
Karena luasnya fungsi dan tugas muhtasib dalam melarang manusia kepada kemungkaran dan menyuruh manusia kepada kebaikan dalam hak-hak bersama antara Allah Ta’ala dan hak-hak manusia, saya khususkan menuliskan kembali fungsi dan tugas muhtasib dalam melarang kemungkaran yang terkait dengan muamalah-muamalah:
Adapun kemungkaran-kemungkaran yang terjadi pada muamalah-muamalah seperti misalnya zina dan jual beli yang tidak sah, serta sesuatu yang dilarang syariat, namun dua pihak sepakat mengerjakannya, maka jika sesuatu tersebut merupakan sesuatu yang keharamannya telah disepakati para ulama, muhtasib (petugas hisbah) diperbolehkan melarangnya dan ta’zir (sanksi disiplin) kepadanya sangat ditentukan oleh kondisi dan keras tidaknya keharaman hal ter¬sebut.
Adapun sesuatu yang keharaman dan kehalalannya masih diperdebatkan para fuqaha”,muhtasib (petugas hisbah) tidak diperbolehkan melarangnya, kecuali sesuatu yang perbedaan pendapat di dalamnya sangat rendah, dan hal tersebut merupakan sarana kepada sesuatu yang keharamannya telah disepakati para fuqaha’ misalnya riba kontan. Sesungguhnya perbedaan pendapat para fuqaha’ dalam riba kontan ini rendah dan riba kontan adalah sarana kepada riba nasi’ah yang keharamannya telah disepakati para fuqaha’. Apakah muhtasib (petugas hisbah) diperbolehkan menangani masalah seperti riba kontan atau tidak boleh? Ada dua pendapat dalam masalah ini seperti telah kami sebutkan sebelumnya.
Terhadap muamalah kendati sesungguhnya tidak termasuk dalam katagori muamalah yaitu akad pernikahan yang haram, maka muhtasib (petugas hisbah) melarangnya jika keharamannya telah disepakati para fuqaha’ dan tidak melarangnya jika keharamannya masih diperdebatkan para fuqaha’ kecuali terhadap perbuatan yang perbedaan pendapat di dalamnya tidak terlalu tajam, dan perbuatan tersebut merupakan sarana kepada hal haram yang telah disepakati para fuqaha’ dan tidak tertutup kemungkinan perbuatan tersebut menjadi pengantar kepada pembolehan perzinahan, maka ada dua pendapat tentang boleh tidaknya muhtasib (petugas hisbah) melarangnya. Sebagai pengganti pelarangannya, hendaklah muhtasib (petugas hisbah) menganjurkan orang tersebut melakukan akad-akad yang telah disepakati para fuqaha’.
Di antara hal-hal yang terkait dengan muamalah ialah penipuan komoditas, dan penipuan harga, dalam hal ini muhtasib (petugas hisbah) diperbolehkan melarangnya dan menjatuhkan ta’zir (sanksi disiplin) kepada pelakunya dengan memperhatikan kondisinya, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda,
“Bukan termasuk golongan kita, orang yang menipu.” (Diriwayatkan Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ad-Darimi).
Jika penipuan dilakukan terhadap pembeli, dan pembeli tidak mengetahuinya, maka penipuan seperti itu tingkat keharamannya sangat keras, dan dosanya sangat besar. Jadi praktek penipuan seperti itu harus dilarang keras, dan harus dijatuhkan ta’zir (sanksi disiplin) yang sangat berat.
Jika penipuan diketahui pembeli, maka dosanya relatif lebih ringan dan pelarangannya lebih ringan. Dalam kondisi seperti itu, kondisi pembeli harus dikaji. Jika ia membeli barang tersebut untuk dijual lagi kepada orang lain, maka pelarangan ditujukan kepada penjual atas penipuannya, dan pembeli harus membeli barang tersebut, sebab bisa jadi ia menjual barang tersebut kepada orang yang tidak mengetahui penipuan yang ada di dalamnya. Jika pembelinya membeli barang tersebut untuk dipakai sendiri, maka pembeli tidak masuk dalam daftar orang yang harus dilarang, dan larangan hanya ditujukan kepada penjual. Ketentuan ini juga berlaku pada penipuan harga.
Muhtasib (petugas hisbah) juga berhak melarang tindakan tidak memeras susu hewan untuk beberapa hari agar susu hewan tersebut kelihatan banyak ketika hendak dijual, karena tindakan tersebut juga termasuk penipuan.
Di antara hal lain yang menjadi konsentrasi pelarangan muhtasib (petugas hisbah) ialah larangan mengurangi dan curang dalam takaran dan timbangan, karena Allah Ta’ala melarangnya. Ia harus menjatuhkan ta’zir (sanksi disiplin) yang berat kepada pelakunya.
Jika muhtasib (petugas hisbah) meragukan kebenaran timbangan dan takaran di pasar, ia diperbolehkan mengujinya.
Jika hasil pengujiannya sesuai dengan takaran yang berlaku di antara mereka dan mereka tidak bermuamalah kecuali dengan cara seperti itu, maka pengujiannya merupakan tindakan preventif.
Jika mereka bermuamalah dengan cara seperti itu bersama orang-orang lain yang takarannya tidak sama dengan takaran mereka, maka larangan harus ditujukan kepada mereka jika di dalamnya terdapat kecurangan dalam dua hal,
  1. Karena cara tersebut menyimpang dari takaran yang berlaku. Pelarangan praktek seperti ini termasuk hak Sultan (Khalifah).
  2. Karena adanya kecurangan dan pengurangan hak. Pelarangan praktek seperti itu, termasuk hak Syariat (khalifah).
Jika muamalah mereka yang tidak sesuai dengan tradisi tersebut bersih dari pengurangan dan kecurangan, maka hak melarang mereka melakukannya adalah hak Sultan (Khalifah), karena praktek tersebut bertentangan dengan takaran yang semestinya.
Jika ada salah satu kelompok masyarakat mengadakan pemalsuan terhadap takaran, misalnya penipuan terhadap nilai dirham dan dinar; jika pemalsuan mengandung unsur penipuan, maka yang berhak melarang mereka melakukannya dan menjatuhkan ta’zir (sanksi disiplin) kepada mereka adalah dua pihak,
1. Sultan (Khalifah) pada pemalsuan yang mereka lakukan.
2. Syariat pada penipuan yang mereka lakukan. Ini jelas larangan yang sangat keras.
Jika pemalsuan tidak mengandung unsur penipuan, sultan (khalifah) lebih berhak melarang mereka melakukannya.
Jika salah satu daerah sangat luas, hingga penduduknya membutuhkan petugas penakar, petugas penimbang, dan petugas pembayaran, muhtasib (petugas hisbah) memberi kebebasan kepada mereka untuk melakukannya, namun ia berhak melarang mereka mengangkat petugas untuk tujuan ini kecuali orang-orang jujur yang ia ridhai, dan gaji para petugas tersebut diambilkan dari Baitul Mal (Sultan/Khalifah), jika Baitul Mal (Sultan/Khalifah) memiliki banyak uang.
Jika Baitul Mal (Sultan/Khalifah) tidak mempunyai banyak uang, muhtasib (petugas hisbah) menentukan besarnya gajinya agar mereka tidak menambahnya atau menguranginya. Sebab jika gaji mereka tidak ditentukan, tidak tertutup kemungkinan para petugas tersebut melakukan main mata dan kecurangan pada takaran dan timbangan. Para gubernur berhak memilih mereka, menentukan rangking mereka, dan mencatat nama mereka di dokumen negara, agar nama-nama mereka tidak bercampur dengan nama-nama lain yang tidak diangkat menjadi mediator dengan ma¬nusia.
Jika salah seorang dari petugas penakar dan penimbang melakukan ketidakadilan atau menambah jumlah takaran dan timbangan, ia dikenakan ta’zir (sanksi disiplin), dipecat dari jabatannya, dan dilarang bertindak menjadi mediator dengan manusia.
Ketentuan ini juga berlaku pada pemilihan makelar. Muhtasib (petugas hisbah) mengesahkan orang-orang jujur dan tidak boleh mengesahkan orang-orang yang tidak jujur. Ini termasuk ruang lingkup kekuasaan muhtasib (petugas hisbah), jika gubernur tidak menanganinya.
Adapun pemilihan petugas pembagi tanah dan penanam, hakim lebih berhak memilih mereka daripada muhtasib (petugas hisbah), karena mereka bertugas menjaga harta anak-anak yatim dan harta orang-orang yang bepergian.Adapun pemilihan penjaga keamanan di kampung-kampung dan di pasar-pasar, maka pemilihan mereka menjadi hak aparat keamanan.
Jika pengurangan timbangan menyebabkan perbedaan penda¬pat antara pembeli dan penjual, muhtasib (petugas hisbah) berhak menanganinya jika tidak ada permusuhan di antara kedua belah pihak. Jika kasus tersebut menimbulkan permusuhan di antara kedua belah pihak, maka hakim lebih berhak menanganinya daripada muhtasib (petugas hisbah), karena hakim lebih berhak memutuskan daripada muhtasib (petugas hisbah), sedang penanganan ta’zir (sanksi disiplin) menjadi hak muhtasib (petugas hisbah). Jika muhtasib (petugas hisbah) diberi mandat oleh hakim, ia diperbolehkan memutuskan kasus tersebut.
Di antara yang dilarang muhtasib (petugas hisbah) pada manusia secara umum dan tidak melarangnya pada sebagian orang ialah jual beli dengan takaran dan timbangan yang tidak dikenal suatu daerah, kendati takaran dan timbangan tersebut dikenal di daerah lain. Jika pembeli dan penjual ridha melakukan transaksi dengan takaran dan timbangan seperti itu, muhtasib (petugas hisbah) tidak perlu melarangnya, namun muhtasib (petugas hisbah) harus melarang praktek seperti itu pada semua manusia, karena tidak tertutup kemungkinan mereka menggunakan takaran dan timbangan tersebut dalam mua¬malah mereka dengan orang lain yang tidak mengenal takaran dan timbangan seperti itu, kemudian membuat mereka tertipu karena ta¬karan dan timbangan tersebut.
Demikian sebagian dari permulaan pembahasan mengenai apa itu muhtasib, persyaratan, tugas dan fungsi muhtasib, yang sudah dijelaskan dengan panjang lebar,  dan saya cukupkan disini dulu. Semoga kita semua diberikan kepahaman dalam membacanya dan kemudian mengamalkannya. Bagi saudara Muslim ataupun jama’ah Muslim dimanapun berada yang ingin mengadakan pasar yang sesuai dengan aturan Islam sebaiknya mempelajari hal ini dan juga perlunya dilibatkan peran Ulama yang mengerti hukum-hukum hisbah untuk terlibat dalam urusan penting ini di dalam wilayah anda. Ulama yang kami maksud dalam arti sebenarnya, arif dan mempunyai ilmu dan hikmah.
Saya memohon petunjuk kepada Allah Ta’ala atas apa yang telah kita jalankan, dan pertolongan terhadap apa yang kita inginkan dengan karunia-Nya dan kehendak-Nya. Cukuplah Allah bagiku, dan Dia adalah sebaik-baiknya tempat bersandar. Amin. (Abbas/IMN)

0 komentar: